Rabu, 21 Januari 2015

Keajaiban cinta untuk Memey


Melted Of Hard Heart

Oleh    :           Nurma Yunita

 

            “Aku  coba melamar kerja di tempatmu ya, Dek?”

            “Serius? Disana gak ada orang make up tebal loh Mbak, harus berhijab pula. Yakin?”

            Dari obrolan santai menikmati segelas kopi hitam ditemani udara dingin Banyuwangi. Café keluarga menjadi tempat bergurau yang membawa keseriusan seorang gadis modern bernama Maria. Maria anak kedua dari keluarga berkecukupan dengan limpahan fasilitas. Pendidikannya sangat menjamin, lulusan Sarjana Hubungan Internasional. Namun sifatnya yang  keras kepala, royal, memilih pergaulan yang cukup sesat. Shoping setiap hari, berlibur menikmati keindahan pantai Banyuwangi tanpa kabar ke orang tua. Ia tak pernah kapok saat sang ibu memukuli hingga tak bertegur sapa dalam hitungan hari.

             Dalam beberapa minggu ini, ibunya terserang stroke setelah cucu pertama—anak dari kakaknya Maria, meninggal dunia karena tak tertolong akibat demam berdarah. Berkabung masih terasa hangat dirumah Maria.

            Posisiku sebagai teman sekaligus seperti adik baginya, tak mampu menasehati dengan kata-kata halus. Bahkan Ia memandangku anak kuper nan lugu. Bersaudara dengannya sangat membuatku khawatir. Bagaimana tidak? Sekali keluar belanja lima ratus ribu rupiah ludes untuk sepasang baju. Padahal itu nominal yang harus kukumpulkan selama dua minggu bekerja. Segala macam tas, baju, sepatu, alat make-up penuh di kamar pribadinya. Tabungan tak pernah terfikir dalam benaknya.

            “Oke. Besok kamu nginep dirumah, aku kirim lamaran sekalian antar kamu ke Malang.” Maria memegang pundakku dengan mata berbinar.

***

            Setelah melewati tes kerja melalui prosedur tetap perusahaan. Ia diterima tanpa bantuan siapapun. Posisi  karyawan Front Office kini disandangnya. Keahliannya, dan pengalaman sebagai public speaking memang tak perlu diragukan. Ia menjadi penyiar radio favorit saat sekolah menengah di kota. Hobinya pun tak jauh dari suara merdu itu. Menyanyi dangdut khas Banyuwangi dan campur sari. Ia gadis modern yang unik, dari keluarga jawa. Pecinta kesenian tradisional, terutama ludruk.

            Keluhan mulai kudengar dari Maria. Satu bulan bekerja membuatnya ingin menikmati dunia luar tanpa kesibukan serius. Mencoba memberinya pengertian, hingga pertanyaan yang dahulu kulontarkan sebelum ia terjun ke dunia kerja, selalu aku selipkan. Dinas malam menjadi alasan utama. Perjalan 30 menit dari rumah tinggal saudara hingga tempat kerja, acap kali membuatnya takut mengendarai sepeda motor sendiri. Tikungan bendungan di timur stadion Kajuruhan Malang adalah tempat rawan perampokan dan kecelakaan.

            “Aku keluar kerja, gak kerasan. Enak kamu, kerja pagi terus. Lah aku harus kena shift pagi, sore, malam. Gak ada waktu buat keliling traveling.” Sergahnya dengan ketus kepadaku melalui telepon.

***

            Satu minggu aku tak dapat kabar dari Maria. Karena kesibukan masing-masing, aku pun lupa akan percakapan terakhir dengannya. Hingga suatu pagi  di ruang pendaftaran pasien, saat aku melangkah untuk mengisi absensi pada mesin elektrik hitam di bangku pojok ruang. Terlihat Maria bermake-up sedikit tebal. Hijab biru senada dengan seragam yang ia kenakan. Ada yang berbeda. Wajah muramnya sedikit tersenyum melihat layar telepon genggam.

            “Mbak, mau pulang ya? Kok cantik banget hari ini,” perlahan kumelangkah ke hadapannya, “Hemmm… sekarang berani make-up?” kucubit pipi tembemnya.

            “Iya, dinas malam yang membahagiakan,” senyum genit dengan kerlingan mata menjadi pelengkap, “Kapan-kapan aku cerita, dadaaaa pulang dulu ya sayang.”

            Dalam prasangka dan rasa syukur untuk kebaikan yang ia terima. Lingkungan kerja islami memotivasinya berusaha menjalankan sholat tepat waktu. Walau alasan-alasan yang sama kerap ia lontarkan untuk menundanya. Namun aku yakin, kesadarannya atas nikmat tuhan dari lingkungan sekeliling, akan segera merasuk dalam hatinya untuk pribadi yang lebih baik.

***

            Pagi di minggu kedua setelah dinas malam. Maria menungguku dipintu ruang kerja, lantai dua gedung perkantoran perusahaan. Ia terlihat cantik dan rapih. Jaket krem membalut tubuh, menutup baju seragam dan kain hijabnya hingga batas leher. Helmet INK hitam ditenteng tangan kiri, tas Sophie merah maroon terselempang anggun, dengan tangan kanan melambaikan tangan memanggilku.

            “Coba tebak, Mbakmu ini kenapa?”

            “Aha! Pasti jatuh cinta! Sama adekmu ini? Terakhir ketemu kan panggil sayang?”

            “Bukan cinta… Mbakmu ini mau menikah!”

            “Alhamdulillah, sama siapa toh? Perasaan pacar terakhirmu gak jelas dan gak dapat restu. Lagian kalau sama dia, aku juga gak pernah setuju, Mbak. Sudah pengangguran, gak sopan pula. Kegantengannya juga bisa luntur.”

            “Itu, dia.” Maria melirik sosok seorang berwajah teduh, senyum manis yang berjalan menghampiri kami. Mas Abdul? Perlahan butiran mutiara air mata menepi di sudut mataku. Senyum berderai butiran bening yang akhirnya menetes, setelah kuberjuang menahannya. Haru menyelimuti relung hatiku. Saat cobaan keluarga menghantam. Tuhan memberi kebahagiaan kepada keluarga Maria. Hati kerasnya meleleh, tercermin dari sikap dan perilakunya.

                                                                        ***

            Bahagia yang membumbung tinggi saat mengetahui pria baik yang segera mengikat seorang wanita dengan segala kekurangan dan kelebihan yang sangat nampak. Menerima sifat buruk dengan kebaikannya. Memberi ilmu akhirat dari dunia yang telah melekat. Mas Abdul adalah karyawan Paramedis di tempat kami berkerja.

            Maria menjadi wanita yang penuh perhatian. Kepada suami dan keluarganya. Ibu yang menderita stroke, perlahan sembuh dengan ketelatenan sang menantu. Ia menjadi istri sholeha yang istiqomah berhijab. Semakin konsentrasi berfikir untuk keluarga. Sungguh, tuhan adalah penulis skenario terbaik.

*S E K I A N*

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar