Melted
Of Hard Heart
Oleh : Nurma
Yunita
“Aku coba melamar
kerja di tempatmu ya, Dek?”
“Serius? Disana gak ada orang make up tebal loh Mbak,
harus berhijab pula. Yakin?”
Dari obrolan santai menikmati segelas kopi hitam ditemani
udara dingin Banyuwangi. Café keluarga menjadi tempat bergurau yang membawa
keseriusan seorang gadis modern bernama Maria. Maria anak kedua dari keluarga
berkecukupan dengan limpahan fasilitas. Pendidikannya sangat menjamin, lulusan
Sarjana Hubungan Internasional. Namun sifatnya yang keras kepala, royal, memilih pergaulan yang
cukup sesat. Shoping setiap hari, berlibur
menikmati keindahan pantai Banyuwangi tanpa kabar ke orang tua. Ia tak pernah
kapok saat sang ibu memukuli hingga tak bertegur sapa dalam hitungan hari.
Dalam beberapa
minggu ini, ibunya terserang stroke setelah cucu pertama—anak dari kakaknya
Maria, meninggal dunia karena tak tertolong akibat demam berdarah. Berkabung
masih terasa hangat dirumah Maria.
Posisiku sebagai teman sekaligus seperti adik baginya,
tak mampu menasehati dengan kata-kata halus. Bahkan Ia memandangku anak kuper
nan lugu. Bersaudara dengannya sangat membuatku khawatir. Bagaimana tidak?
Sekali keluar belanja lima ratus ribu rupiah ludes untuk sepasang baju. Padahal
itu nominal yang harus kukumpulkan selama dua minggu bekerja. Segala macam tas,
baju, sepatu, alat make-up penuh di kamar pribadinya. Tabungan tak pernah
terfikir dalam benaknya.
“Oke. Besok kamu nginep dirumah, aku kirim lamaran
sekalian antar kamu ke Malang.” Maria memegang pundakku dengan mata berbinar.
***
Setelah melewati tes kerja melalui prosedur tetap
perusahaan. Ia diterima tanpa bantuan siapapun. Posisi karyawan Front Office kini disandangnya.
Keahliannya, dan pengalaman sebagai public speaking memang tak perlu diragukan.
Ia menjadi penyiar radio favorit saat sekolah menengah di kota. Hobinya pun tak
jauh dari suara merdu itu. Menyanyi dangdut khas Banyuwangi dan campur sari. Ia
gadis modern yang unik, dari keluarga jawa. Pecinta kesenian tradisional,
terutama ludruk.
Keluhan mulai kudengar dari Maria. Satu bulan bekerja
membuatnya ingin menikmati dunia luar tanpa kesibukan serius. Mencoba
memberinya pengertian, hingga pertanyaan yang dahulu kulontarkan sebelum ia
terjun ke dunia kerja, selalu aku selipkan. Dinas malam menjadi alasan utama.
Perjalan 30 menit dari rumah tinggal saudara hingga tempat kerja, acap kali
membuatnya takut mengendarai sepeda motor sendiri. Tikungan bendungan di timur
stadion Kajuruhan Malang adalah tempat rawan perampokan dan kecelakaan.
“Aku keluar kerja, gak kerasan. Enak kamu, kerja pagi
terus. Lah aku harus kena shift pagi, sore, malam. Gak ada waktu buat keliling
traveling.” Sergahnya dengan ketus kepadaku melalui telepon.
***
Satu minggu aku tak dapat kabar dari Maria. Karena
kesibukan masing-masing, aku pun lupa akan percakapan terakhir dengannya.
Hingga suatu pagi di ruang pendaftaran
pasien, saat aku melangkah untuk mengisi absensi pada mesin elektrik hitam di
bangku pojok ruang. Terlihat Maria bermake-up sedikit tebal. Hijab biru senada
dengan seragam yang ia kenakan. Ada yang berbeda. Wajah muramnya sedikit
tersenyum melihat layar telepon genggam.
“Mbak, mau pulang ya? Kok cantik banget hari ini,”
perlahan kumelangkah ke hadapannya, “Hemmm… sekarang berani make-up?” kucubit
pipi tembemnya.
“Iya, dinas malam yang membahagiakan,” senyum genit
dengan kerlingan mata menjadi pelengkap, “Kapan-kapan aku cerita, dadaaaa
pulang dulu ya sayang.”
Dalam prasangka dan rasa syukur untuk kebaikan yang ia
terima. Lingkungan kerja islami memotivasinya berusaha menjalankan sholat tepat
waktu. Walau alasan-alasan yang sama kerap ia lontarkan untuk menundanya. Namun
aku yakin, kesadarannya atas nikmat tuhan dari lingkungan sekeliling, akan segera
merasuk dalam hatinya untuk pribadi yang lebih baik.
***
Pagi di minggu kedua setelah dinas malam. Maria
menungguku dipintu ruang kerja, lantai dua gedung perkantoran perusahaan. Ia
terlihat cantik dan rapih. Jaket krem membalut tubuh, menutup baju seragam dan
kain hijabnya hingga batas leher. Helmet
INK hitam ditenteng tangan kiri, tas Sophie merah maroon terselempang anggun,
dengan tangan kanan melambaikan tangan memanggilku.
“Coba tebak, Mbakmu ini kenapa?”
“Aha! Pasti jatuh cinta! Sama adekmu ini? Terakhir ketemu
kan panggil sayang?”
“Bukan cinta… Mbakmu ini mau menikah!”
“Alhamdulillah, sama siapa toh? Perasaan pacar terakhirmu
gak jelas dan gak dapat restu. Lagian kalau sama dia, aku juga gak pernah
setuju, Mbak. Sudah pengangguran, gak sopan pula. Kegantengannya juga bisa
luntur.”
“Itu, dia.” Maria melirik sosok seorang berwajah teduh,
senyum manis yang berjalan menghampiri kami. Mas Abdul? Perlahan butiran
mutiara air mata menepi di sudut mataku. Senyum berderai butiran bening yang
akhirnya menetes, setelah kuberjuang menahannya. Haru menyelimuti relung
hatiku. Saat cobaan keluarga menghantam. Tuhan memberi kebahagiaan kepada
keluarga Maria. Hati kerasnya meleleh, tercermin dari sikap dan perilakunya.
***
Bahagia yang membumbung tinggi saat mengetahui pria baik yang
segera mengikat seorang wanita dengan segala kekurangan dan kelebihan yang
sangat nampak. Menerima sifat buruk dengan kebaikannya. Memberi ilmu akhirat
dari dunia yang telah melekat. Mas Abdul adalah karyawan Paramedis di tempat
kami berkerja.
Maria menjadi wanita yang penuh perhatian. Kepada suami
dan keluarganya. Ibu yang menderita stroke, perlahan sembuh dengan ketelatenan
sang menantu. Ia menjadi istri sholeha yang istiqomah berhijab. Semakin konsentrasi
berfikir untuk keluarga. Sungguh, tuhan adalah penulis skenario terbaik.
*S E K I A N*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar