Rabu, 28 Januari 2015

Pemikiran





Tetap Indonesia


Oleh    :           Nurma
Yunita


 


            Mesin diesel perahu itu meggema
memecah hening laut.  Nahkoda mengemudi
dengan gagahnya di belakang wanita yang berdiri di kabin depan. Wanita tangguh
dengan gayung bergagang bambu panjang. Gayung berjaring, senjata ampuh
pembersih air kehidupan. Jeli memandang target. Cekatan membasmi sampah-sampah
kejam. Seragam dinas—sepatu boots—jaket anti air melengkapi identitasnya.


            Jam 8 a.m udara winter memberi sepoi
dingin menyapu wajah. Akhir pekan yang menyibukkan. Elang berlomba mengitari
lautan beserta pelikan putih yang bertengger di atas batu mengamati ikan.
Ekosistem alam yang terus berputar pada peraturan-Nya tanpa campur
tangan manusia.


            Perlahan ujung kapal menyelinap di
balik gedung. Dari runcingnya, pengait besi, hitam yang mulai memudar, di
komando kapal kecil. Mesin pengeruk pasir melintas perlahan menujukkan gagah tugasnya. Diikuti
kapal-kapal nelayan yang sejak tadi melakukan pemanasan dengan berputar-putar
di pinggir laut. Menghindari kesibukan perahu pembersih, seperti saling
menghormati tugas masing-masing.


            Kesibukan mulai meramaikan kosongnya
kabin.


            Satu persatu penghuni kapal
menampakkan semangat mencari rejeki sebagai nelayan. Cekatan menggulung jaring
beriring terbitnya mentari di ufuk timur dari sela-sela puncak pegunungan. Menyalakan kemudi dari barisan untuk segera berlayar.


***


            Area sport run semakin gaduh dengan
hadirnya rombongan wanita bermata sipit—berkostum seragam orange dilengkapi
bendera bertuliskan huruf china. Mereka berbaris rapi. Pemimpin menjelaskan
dengan bahasa mandarin.


            Patuh dan berlalu dengan arahan
komando.


            Pemancing sibuk mencari spot paling
strategis. Terkadang sedikit gerutu terdengar dengan langkah kaki tetap
berpindah dari ujung timur ke selatan. Duduk di pinggir batas laut dengan
mengamati ujung umpan, berharap segera disambar ikan besar.


***


            Sibuk dengan beberapa adegan
sekeliling. Masih membatasiku untuk berpikir tentang tugas yang sedikit
membuatku pusing.


            Hidup di Negara minoritas Muslim
tapi lebih tertata tanpa begitu banyak pelanggaran dimana-mana. Begitu tenang
dengan situasi kekhawatiran oleh virus flu burung H7N9 yang memakan korban 60
orang meninggal dunia dengan 100 orang dirawat instensif. Seperti di tahun 2003
silam, setiap hari korban meninggal dengan sebab yang sama. Virus SARS.


            Begitu menghantui masyarakat. Flu
menjadi hal yang harus dicegah. Dari ramuan tradisional hingga menggunaka
masker. Aku mengira sebagai pengalihan reformasi Hong Kong.


            Masih mengingat beberapa bulan yang
lalu. Di akhir tahun 2014 beberapa Mahasiswa/I


,
aktifis masyarakat terjun ke pusat perekonomian Negara bekas jajahan Inggris
ini. Tak hanya satu atau dua minggu, berbulan-bulan mereka menuntut
kemerdekaan. Hingga menjadi isu Internasional. Tapi pemerintah china tetap
tidak melepaskan Hong Kong. Bahkan tragedi pengeroyokan oleh oknum pemerintah
kepada salah satu pemimpin demonstran menjadi hal yang di sayang kan.


            Masyarakat china di Hong Kong tak
begitu terpengaruh. Bahkan wisatawan China tetap hilir-mudik mengunjungi Hong
Kong dengan memenuhi pusat perbelanjaan seperti daerah Causeway Bay.


            Kemasan berita Internasional,
membuat wacana masyarakat tak terkontaminasi kejahatan kecil yang tak begitu
mendidik. Namun, dengan berita isu internasional pula yang dominan tersaji.


            Memang tingkat kejahatan begitu
minim. Bahkan tak ada rasa khawatir berjalan sendiri diatas jam 7 p.m.


            Sistematis pemerintahan dengan
masyarakat sadar hukum menjadi kenyamanan bagi siapapun penghuni sudut kota.


***


            Berbarengan dengan hiruk pikuk dari
tanah air. Protes kepada pemerintah yang hanya bisa aku saksikan di media masa.


            Apakah hanya bisa memprotes?


            Sedangkan memang masyarakat begitu
acuh kepada kestabilan Negara. Asal pekerjaan tersedia, bahan pakan mencukupi.
Masyarakat kecil tak akan menggubris isu pemerintahan.


            Atau tontonan yang sudah menjadi
tuntunan mulai mengalihkan cara pikir masyarakat?


            Dimana berita penghianatan dalam
keluarga menjadi salah satu topik utama? Dibanding prestasi para pemuda bangsa?


            Kapan Indonesia berjaya?


***


            “Segerahlah kalian berbuat kebajikan
pada hari timbulnya berbagai macam fitnah yang berlalu dengan begitu cepatnya
seperti perubahan malam hari yang gelap gulita (berubah menjadi siang), saat
itu ada orang yang pagi harinya masih beriman dan sore harinya berubah menjadi
kafir atau (sebaliknya) sore harinya mesih beriman lalu pagi harinya berubah menjadi
kafir, orang itu berani menjual agamanya dengan keduniaan.” (HR. Muslim)


            Do’a menjadi senjata ampuh.
Keyakinan kepada takdir Allah SWT menjadi pencegah perkataan dan tindakan
mungkar.


            Walau kenyamanan ini tak kudapat di
Negeriku. Aku ditakdirkan terlahir disana dengan keluarga yang selalu
kurindukan. Indonesia.


***


                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar